Karena semangat lillah, kau tak kan pernah patah...

Senin, 28 Maret 2016

RUKUN-RUKUN SHALAT MENURUT EMPAT MADZHAB


RUKUN-RUKUN SHALAT MENURUT EMPAT MADZHAB
Oleh : Nikma Nurul Izzah


A.      PENDAHULUAN
Shalat merupakan salah satu rukun kedua dari rukun islam yang lima. Ia merupakan ibadah yang diwajibkan Allah subhaanahu wa ta’ala kepada setiap individu hamba-Nya yang mukallaf. Kewajiban tersebut sudah banyak Allah firmankan di dalam Al Qur’an. Allah berfirman :
وَ أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَ آتُوا الزَّكَاةَ
“Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat.
Barangsiapa yang baik sholatnya maka baiklah seluruh amal perbuatannya. Dan jika sholat seseorang buruk maka buruklah seluruh amalannya. Sholat merupakan tiangnya agama. Hidup seseorang tanpa sholat, maka tidaklah pantas dia disebut orang muslim.
Jika kita lihat kondisi masyarakat hari ini. Terutama diri kita sendiri. Banyak kita dapatkan ketidakpahaman sebagian mereka dalam masalah sholat. Mereka sholat hanya sekedar menjalankan perintah Allah tanpa memperhatikan hal-hal yang wajib dilakukan dalam shalat. Artinya, tanpanya sholat menjadi tidak sah. Betapa banyak umur manusia yang telah berlalu tanpa satupun ibadah sholat yang diterima oleh Allah. Na’udzubillah min dzalik.
Dengan makalah ini penulis ingin sedikit memaparkan satu hal yang sangat urgen dan harus diketahui setiap individu muslim, yaitu rukun-rukun shalat.

B.       DEFINISI RUKUN-RUKUN SHALAT
Rukun secara etimologi berasal dari kata رَكَنَ يَرْكُنُ رُكْوْنًا yang berarti condong, cenderung. Rukun berarti العماد و السند yang berarti tiang, penopang, sandaran[1]. Rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan[2].
Adapun shalat secara etimologi adalah do’a[3]. Seperti dalam firman Allah:
وَ صَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
“Dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS At Taubah: 103)
Secara terminologi syar’i shalat berarti semua perkataan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan niat dan syarat-syarat tertentu[4].
Para ulama’ fiqih dalam membahas masalah rukun biasa dengan memakai istilah ‘sifat sholat’, maksudnya tata caranya, ‘nidhom as sholat’ atau ‘faroidh as-sholat.
Rukun-rukun sholat seperti halnya syarat shalat yang harus dilakukan dan dipenuhi. Hanya saja syarat dilaksanakan sebelum shalat dan berlanjut hingga akhir shalat. Seperti suci dari hadats dan menutup aurat. Adapun rukun adalah yang harus dilaksanakan dalam shalat seperti rukuk dan sujud.
Rukun ibarat pondasi rumah. Rumah tak kan bisa berdiri tegak tanpa adanya pondasi. Begitu pula dengan rukun sholat yang mana shalat tidak akan sempurna kecuali dengan terpenuhinya semua rukun shalat.

C.      RUKUN-RUKUN SHALAT MENURUT 4 MADZHAB

Sebelum berlanjut kepada pembahasan rukun-rukun sholat.  Terdapat sebuah hadits yang menerangkan tatacara shalat Rasulullah :    
 ))قَالَ أَبُوْ حُمَيْد : أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ قَالُوْا : فَاعْرِضْ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيْ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حَتَّى يُقِرُّ كُلُّ عَظْمٍ فِيْ مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقْرَأُ ثُمَّ يُكَبِّرُ فَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيْ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يَرْفَعُ وَ يَضَعُ رَاحَتَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَعْتَدِلُ فَلَا يُصَوِّبُ رَأْسَهُ وَلَا يُقْنِعُهُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَ يَقُوْلُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيْ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقُوْلُ اللهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَهْوِيْ إِلَى اْلأَرْضِ فَيُجَافِيْ يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيُثْنِيْ رِجْلَهُ اْليُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا حَتَّى يَرْجِعُ كُلُّ عَظْمٍ إِلَى مَوْضِعِهِ ثُمَّ يَصْنَعُ فِيْ اْلأُخْرَى مِثْل ذٰلِكَ ثُمَّ إِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَةِ فَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيْ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا كَبَّرَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ ثُمَّ يَفْعَلُ ذٰلِكَ فِيْ بَقِيَّةِ صَلَاتِهِ حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِيْ فِيْهَا التَّسْلِيْمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكٍا عَلَى شِقِّهِ اْلأَيْسَرِ قَالُوْا صَدَقْتَ هٰكَذَا كَانَ يُصَلِّيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ))
Abu Humaid mengatakan : “Diantara kalian akulah orang yang paling tahu tentang sholatnya Rasulullah “. Mereka yang hadir mengatakan: “Katakanlah!”. Abu Humaid pun berkata: “Rasulullah apabila akan sholat beliau berdiri dan mengangkatkan tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya kemudian bertakbir sampai seluruh persendiannya berada pada tempatnya sementara tubuhnya tetapa berdiri tegak. Kemudian beliau membaca ayat Al Qur’an dan diteruskan bertakbir dengan mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya. Kemudian beliau rukuk dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke dua lututnya, punggungnya  tegak lurus, tidak mengangkat atau menundukkan kepalanya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’ dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya dan berdiri tegak. Kemudian beliau mengucapkan ‘Allahu Akbar. Kemudian beliau menurunkan badannya ke tanah, kedua tangannya menjauhi lambungnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan menekuk kaki kirinya serta duduk diatasnya sampai semua persendiannya berada pada tempatnya. Kemudian beliau sujud yang kedua seperti sujud sebelumnya. Kemudian beliau bangkit dari sujud dan berdiri serta mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya seperti bertakbir ketika awal sholat. Beliau melakukan seperti itu sampai selesailah seluruh rakaat yang beliau kerjakan hingga melakukan sujud terakhir. Saat itulah beliau menjulurkan kaki kirinya ke kanan dari tempat duduknya. Beliau duduk tawarruk dengan pinggul rukuk”. Mendengar penuturan Abu Humaid, mereka mengatakan: “Engkau benar”. Demikianlah Rasulullah melakukan shalat. [5](HR. Imam Malik, Abu Daud dan Tirmidzi)
Para fuqoha’ madzhab berbeda pendapat mengenai jumlah rukun-rukun dalam shalat. Madzhab Hanafi menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 6, yaitu takbiratul Ihram, berdiri, membaca Al-Qur’an, rukuk, sujud, duduk di akhir sholat selama tasyahud[6].
Dalam masalah ini Madzhab Hanafi memiliki pendapat mengenai wajib-wajib shalat yang berbeda dengan rukun-rukun shalat. Pengertian wajib menurut madzhab ini adalah segala hal yang ditetapkan dengan dalil yang mengandung syubhat atau kesamaran. Hukum orang yang meninggalkan wajib-wajib shalat berdosa namun shalatnya tidak batal dan harus menggantinya dengan sujud sahwi. Akan tetapi, jika dilakukan dengan sengaja maka ia harus mengulangi shalatnya. Wajib-wajib shalat menurut Madzhab Hanafi[7] ada delapan belas sebagai berikut:
1.        Membaca takbir ketika permulaan shalat
2.        Membaca Surat Al-Fatihah
3.        Membaca surat atau ayat Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah
4.        Membaca surat pada dua rakaat pertama dalam shalat fardhu
5.        Mendahulukan bacaan surat Al-Fatihah daripada surat yang lain
6.        Menyatukan hidung dan kening ketika sujud
7.        Urut dalam setiap perbuatan yang dilakukan dalam shalat
8.        Thuma’ninah dalam setiap rukunnya
9.        Duduk pertama (tasyahud awal) setelah dua rakaat pada shalat yang berjumlah tiga atau empat rakaat
10.    Membaca tasyahud ketika duduk pertama
11.    Membaca tasyahud ketika duduk terakhir sebelum salam
12.    Bergegas bangkit ke rakaat ketiga setelah membaca tasyahud awal
13.    Mengucapkan ‘as-Salam’ tanpa ‘alaikum’ sebanyak dua kali pada akhir shalat sambil menoleh ke kanan dan ke kiri
14.    Mengeraskan suara bagi imam pada dua rakaat shalat shubuh, dua rakaat dalam shalat Maghrib dan Isya’ meski shalatnya qadha’
15.    Membaca pelan bagi imam atau makmum pada shalat Dzuhur dan Ashar selain dua rakaat shalat Maghrib dan Isya’, serta shalat nafilah pada siang hari
16.    Membaca do’a Qunut dalam shalat witir
17.    Takbir dalam shalat ‘Id
18.    Diam dan mendengarkan imam dalam shalat berjama’ah

Adapun Madzhab Maliki menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 14, yaitu niat, takbiratul ihram, berdiri ketika shalat fardhu, membaca surat Al-Fatihah, membaca Al-Fatihah dengan berdiri, rukuk, bangkit dari rukuk, sujud, duduk diantara dua sujud, salam, duduk ketika salam, thuma’ninah, i’tidal dari rukuk dan sujud, tartib[8].  
Madzhab Syafi’i menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 13, yaitu niat, takbiratul ihram, berdiri dalam shalat fardhu bagi yang mampu, membaca Al-Qur’an, rukuk, i’tidal dalam posisi berdiri dan thuma’ninah, sujud, duduk diantara dua sujud dan thuma’ninah, tasyahud, duduk ketika tasyahud, membaca shalawat kepada nabi, salam, urut dan tertib dalam di setiap rukunnya[9].
Madzhab Hanbali menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 14, yaitu takbiratul ihram, berdiri dalam shalat fardhu sesuai kemampuan, membaca Surat Al-Fatihah pada setiap rakaat bagi imam dan orang shalat sendirian, rukuk, i’tidal, sujud, i’tidal dari sujud, duduk diantara dua sujud, thuma’ninah pada setiap rukunnya, duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud, membaca shalawat kepada Nabi , salam ke kanan, urut[10].
Berikut adalah penjelasan dari setiap rukunnya:
1.      Niat
Niat secara etimologi bermakna kehendak dan tekad[11]. Secara terminologi syar’i niat adalah tekad dan azzam dalam hati untuk melakukan ibadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah[12].
Menurut pendapat Hanafiah dan Hanabilah dan pendapat rajih di kalangan ulama Maliki niat merupakan syarat sholat. Sementara Ulama’ Syafi’i dan sebagian ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa niat merupakan bagian dari rukun shalat, karena niat hanya wajib dilakukan pada salah satu bagian dari shalat bukan sepanjang waktu. Dengan kata lain, niat wajib dilakukan hanya pada saat awal saja dan tidak sepanjang waktu ketika sedang shalat.
Para ulama’ sepakat bahwa niat adalah hal yang wajib dilakukan dalam shalat. Karena tujuan dari pelaksanaan niat adalah untuk membedakan antara sesuatu yang dimaksudkan ibadah dan sesuatu yang hanya adat (kebiasaan). Niat juga dimaksudkan ikhlash mengharap ridho Allah dalam mengerjakan segala perbuatan. Allah berfirman :
وَمَآ أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ 
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama...” (QS Al-Bayyinah: 5)

2.      Takbiratul Ihram
Disebut demikian karena mengharamkan segala jenis perbuatan mubah dari makan, minum, berbicara, dalam sholat. Hendaknya seseorang yang akan sholat berdiri dan bertakbir dengan lafadz “Allahu Akbar” dengan bahasa arab kecuali bagi yang tidak mampu mengucapkannya. Allah berfirman:
وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ 
            “Dan agungkanlah Rabbmu.” (QS Al-Muddatsir: 3) 
Rasulullah bersabda:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُوْرُ وَ تَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَ تَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ
“Kunci shalat adalah bersuci, pengharamnya adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam”. [13]

3.      Berdiri dalam shalat fardhu sesuai kemampuan
Berdasarkan firman Allah:
وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قَانِتِيْنَ
Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan khusyuk”. (QS. Al-Baqoroh: 238)
Berdasarkan sabda Nabi kepada ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu yang sedang sakit wasir ketika ditanya :
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ  رواه البخاري و زاد النسائي فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًا لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Shalatlah kamu dengan berdiri. Jika tidak bisa maka duduklah. Jika tidak bisa maka shalatlah dengan berbaring.”[14] An-Nasa’i menambahkan: “Jika tidak bisa maka sholatlah dengan telungkup. Allah tidak membebani hambanya diluar batas kemampuannya.”
Dalam hadits ini menjelaskan bahwa dalam shalat fardhu harus dengan berdiri. Jika tidak mampu berdiri karena sakit atau sebab yang lainnya maka boleh shalat dengan duduk. Jika tak mampu maka boleh berbaring. Bahkan jika orang sakit yang tak mampu menggerakkan badannya boleh dengan menganggukkan kepala menurut Hanafiyah. Atau mengedipkanmata menurut Malikiyah. Bahkan Syafi’iyah dan Hanabilah boleh menggerakkan tubuh di dalam hati.  
Perintah shalat dengan berdiri disini adalah dalam shalat fardhu. Tidak pada shalat sunnah. Karena Rasulullah pernah shalat sunnah dengan duduk ketika safar.

4.      Membaca surat sesuai kemampuan
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa membaca ayat Al-Qur’an adalah salah satu rukun sholat dan tidak mengkhususkan Surat Al-Fatihah. Meskipun membaca Surat Al-Fatihah adalah hal yang wajib dilakukan dalam pendapat Madzhab Hanafi. Berdasarkan dalil dari Al-Qur’an. Allah berfirman :
فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ اْلقُرْآنِ
              Maka bacalah sesuatu yang mudah dari Al-Qur’an. (QS. Al-Muzammil: 20)
Adapun jumhur ulama’ selain Hanafiyah sepakat bahwa membaca surat Al-Fatihah termasuk salah satu rukun shalat yang tidak sah sholat seseorang tanpa membacanya. Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah bersabda:
 لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ اْلكِتَابِ
Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat Al Fatihah” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)[15]
Jika seseorang tidak mampu membaca surat Al-Fatihah sama sekali karena tidak ada orang yang mengajarinya atau tidak adanya mushaf maka ia boleh mengantinya dengan bacaan lain yang sebanding dengan tujuh ayat surat tersebut. Ini adalah pendapat yang paling shahih. Bacaan penggantinya bisa berupa tujuh ayat yang berurutan atau tujuh macam dzikir atau do’a yang berkaitan dengan akhirat dan tetap menjaga jumlah hurufnya. Pendapat ini disandarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abi Aufa :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ : إِنِّي لاَ أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْئًا فَعَلِّمْنِي مَا يُجْزِئُنِي مِنْهُ ، قَالَ : قُلْ : سُبْحَانَ اللهِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ
Dari Abdullah bin Abi Aufa berkata: “ Datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah mengatakan: “Ya Rasulullah saya tidak bisa menghafal ayat-ayat Al-Qur’an maka ajarilah aku suatu bacaan yang dapat menggantikannya”. Maka Rasulullah bersabda: “ucapkanlah subhaanallaah, wal hamdu lillaah, wa laa ilaaha illallah, wallaahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billaahi al ‘aliyy al adhim”.[16]
Jika memang seseorang tidak mampu membaca surat ataupun dzikir maka ia diam selama kadar membaca surat Al-Fatihah.

5.      Rukuk
Rukuk secara etimologi berasal dari kata ركع يركع ركوعا yang berarti menundukkan atau membungkukkan kepalanya[17]. Secara terminologi fiqih rukuk berarti menundukkan kepalanya dengan membungkukkan punggungnya, kedua telapak tangannya memegang kedua lututnya dan meluruskan punggungnya[18] serta merenggangkan jari jemari.
Madzhab Syafi’i membagi batas minimal ruku adalah dengan menundukkan kepala. Batas maksimalnya adalah meluruskan punggung dan lehernya dan memegang lutut dengan kedua tangan dan menghadapkan tangan ke kiblat[19].
Para ulama’ sepakat akan kewajiban rukuk sebagaimana tertuang dalam firman Allah:
يَٓا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أٓمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا
“Hai orang-orang yang beriman rukuklah dan sujudlah.” (QS. Al-Hajj:77)
Ketika rukuk membaca “subhaana rabbiyal’adhim” 3 kali. Sebagaimana tertuang dalam hadits dari Hudzaifah bin Al Yaman:

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ اليَمَان أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ إِذَا رَكَعَ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيْم ثَلَاث مَرَّات وَإِذَا سَجَدَ قَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى ثَلَاث مَرَّات
Dari hudzaifah bin Al Yaman. Ia mendengar Rasulullah ketika rukuk mengucapkan “subhaana rabbiyal ‘adhim” dan ketika sujud mengucapkan “subhaana rabbiyal a’la.”[20]
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa thuma’ninah dalam rukuk wajib hukumnya. Dalam rukuk harus disertai thuma’ninah karena ia termasuk rukun shalat. Thuma’ninah adalah berhenti sejenak dalam keadaan rukuk sampai persendian berada pada tempatnya. Ini pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda kepada orang yang buruk shalatnya:
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
“Kemudian rukuklah sampai thuma’ninah.”[21]
Sementara itu, Madzhab Hanafi memasukkan thuma’ninah dalam wajib shalat dan bukan rukun shalat.

6.      Bangkit dari rukuk dan i’tidal
I’tidal termasuk rukun dalam shalat menurut pendapat jumhur. Madzhab Hanafi mengkategorikan sebagai wajib shalat. I’tidal adalah bangkit dan kembali ke gerakan sebelum rukuk. Berdasarkan hadits Rasulullah kepada orang yang buruk shalatnya:
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا
“Kemudian bangkitlah (dari rukuk) sampai kamu berdiri tegak.”[22]
Bacaan yang dibaca setelah i’tidal adalah “sami’allahu liman hamidahu”. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda:
إِذَا قَالَ الإِمَامُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika imam mengatakan ‘sami’allahu liman hamidahu’ maka katakanlah ‘rabbanaa lakal hamdu’. Karena barangsiapa yang mengatakannya bersamaan dengan perkataan malaikat maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[23]
Seseorang yang tidak melakukan i’tidal baik karena disengaja atau tidak tahu maka shalatnya batal. Jika lupa, maka ia harus kembali rukuk dan bangkit darinya. Kemudian ia sujud setelah salam. Kecuali makmum maka ia tidak sujud karena mengikuti imam yang lupa. Jika imamnya belum kembali rukuk, maka ia kembali  berdiri dan mengulangi sholatnya seperti yang dikatakan Ibnu Mawaz. Hal ini jika di sengaja. Jika lupa maka tidak mengulanginya kemudian sujud setelah salam.[24]
Jika seseorang  bangkit dari rukuk karena takut. Misal karena ada ular maka ia dianggap belum melakukan i’tidal. Karena bangkitnya dari rukuk bukan karena menjalankan rukun sholat, melainkan karena takut.
I’tidal dengan berdiri tegap dan thuma’ninah. Seperti dalam hadits rasul kepada orang yang buruk shalatnya.

7.      Sujud dua kali di setiap raka’at
Sujud secara etimologi adalah tunduk, merendahkan diri, condong, meletakkan dahi ke bumi. Adapun secara terminologi sujud adalah meletakkan dahi atau bagian sekitarnya di tempat sujud yang tetap dengan gerakan gerakan tertentu. Setiap rukuk dan sujud ada gerakan turun. Tapi sujud lebih turun dari rukuk.[25]

Berdasarkan firman Allah:
يَٓا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أٓمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا
“Hai orang-orang yang beriman rukuklah dan sujudlah.” (QS. Al-Hajj:77)
Dalam hadits Rasulullah kepada orang yang buruk shalatnya. Beliau bersabda:
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
“Kemudian sujudlah sampai thuma’ninah.”[26]
Ada tujuh anggota tubuh yang harus ditempelkan pada saat sujud. Yakni dahi, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari-jari kaki. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : الْجَبْهَةِ - وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ ، وَأَطْرَافِ الأَصَابِعِ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Bahwasanya Rasulullaah bersabda: “Aku diperintahkan untuk sujud dengan menempelkan tujuh anggota badan. Dahi, -kemudian beliau menunjuk ke hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut, dan ujung jari-jari kaki.”[27]
Ukuran minimal sujud adalah dengan menempelkan sebagian dahinya ke tempat sholat. Perlu diketahui bahwa tidak diperbolehkan sujud diatas sesuatu yang bergerak. Misal mukena yang selalu bergerak setiap pindah rukun ke rukun yang lain. Jika disengaja maka sholatnya batal. Namun jika lupa atau tidak tahu maka sholatnya tidak batal tetapi ia harus mengulang sujudnya. Inilah pendapat madzhab Syafi’i.[28]
Disunnahkan membaca subhaana “rabbiyal a’laa”. Berdasarkan hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ اليَمَان أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ إِذَا رَكَعَ (سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيْم ) ثَلَاث مَرَّات وَ إِذَا سَجَدَ قَالَ (سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى ) ثَلَاث مَرَّات .
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman bahwasanya dia mendengar Rasulullah jika rukuk mengatakan “subhaana rabbiyal adhim” dan jika sujud beliau mengatakan “subhaana rabbiyal a’la”.[29]

8.      Duduk diantara dua sujud
Duduk diantara dua sujud beserta thuma’ninah merupakan rukun menurut jumhur ulama’. Madzhab Hanafi mengkategorikan sebagai wajib shalat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah kepada seseorang yang buruk sholatnya. Beliau bersabda :
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا
“Kemudian sujudlah sampai thuma’ninah. Kemudian bangkitlah (dari sujud) sampai thuma’ninah.”[30]
Posisi duduknya seperti duduk iftirosy yaitu duduk dengan menekuk kaki kiri dan diduduki kemudian menegakkan kaki kanan dengan jari jari yang menekan ke tanah agar mengarah ke kiblat.  
Kemudian membaca membaca “رَبِّ اغْفِرْلِيْ رَبِّ اغْفِرْلِيْ  berdasarkan hadits dari Hudzaifah bahwa Rasululullah ketika duduk diantara dua sujud mengatakan “رَبِّ اغْفِرْلِيْ رَبِّ اغْفِرْلِيْ”.[31]

9.      Duduk selama tasyahud
Duduk selama tasyahud merupakan rukun shalat menurut madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Sementara madzhab Maliki mengganggapnya sunnah. Yang menjadi rukun menurut Maliki adalah duduk ketika akan salam. 
Bacaan tasyahud  menurut ulama’ fiqih sebagai berikut:
a.       Madzhab Hanafi[32] dan Hanbali[33] berpendapat dari riwayat Abdullah bin Mas’ud bahwa lafadz salam sebagai berikut:
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
b.      Imam Malik[34] memilih tasyahudnya Umar bin Khathab dari periwayatan Abdurrahman bin abdil qori
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الزَّاكِيَاتُ لِلَّهِ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
c.       Ulama’ Syafi’iyah[35] mengatakan bahwa bacaan tasyahud yang paling pendek adalah
التَّحِيَّاتُ لِلّٰهِ, سَلَامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ, سَلَاٌم عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِـحِيْنَ, أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
Adapun bacaan tasyahud yang masyhur berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas
التَّحِيَّاتُ اْلمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلّٰهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ َحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ,  السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِـحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Posisi duduk saat tasyahud yang pertama adalah duduk iftirasy[36]. Dan duduk tawarruk [37]pada duduk tasyahud sebelum salam.

10.  Shalawat kepada Nabi
Syafi’iyah dan Hanabilah mengkategorikannya sebagai rukun. Sependek-pendek lafadz shalawat adalah ‘Allahumma shalli wa sallim ‘ala muhammad wa aalihi’[38]. Berdasarkan firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab: 56)
Lafadz shalawat yang sempurna adalah sebagai berikut :
اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ, كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ, وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Sementara itu, Hanafiyah dan Malikiyah mengkategorikannya sebagai sunnah sholat. Barangsiapa yang tidak mampu membaca tasyahud maka boleh dengan membaca terjemahnya menurut Syafi’iyah.[39]

11.  Mengucapkan salam
Salam pertama sebagai tanda keluar dari sholat ketika posisi duduk. Malikiyah dan Syafi’iyah mengkategorikan salam pertama sebagai rukun shalat. Sementera salam yang kedua adalah sunnah. Hanafiyah mengkategorikannya sebagai wajib shalat.
Mereka menyandarkan pada hadits Nabi yang berbunyi:
مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطُّهُورُ ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat adalah bersuci, pengharamnya adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam”.[40]
Ibnu mundzir mengatakan ahlul ilmi sepakat bahwa sholat dengan satu salam itu hukumnya boleh[41]. Sementara Hanabilah mewajibkan kedua salam. Bersandarkan pada hadits dari Jabir bin Samroh, Rasulullah bersabda:
إِنَّمَا يَكْفِى أَحَدَكُمْ أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فَخِذِهِ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى أَخِيهِ مَنْ عَلَى يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ
“Cukuplah bagi seorang diantara kalian menaruh tangannya di atas pahanya kemudian mengucapkan salam kepada saudaranya yang berada di kanan dan kirinya.[42]
Ucapan salam hukumnya sunnah menurut Hanbali. Lafadz salam terpendek adalah dengan mengucap ‘assalaamu ‘alaikum’ dengan bahasa arab, memakai alif lam (ال) dan tidak ada pemisah antara ‘assalaam’ dan ‘alaikum’. Berdasarkan hadits dari Wasi’ bin Habban yang menanyakan kepada Ibnu Umar tentang sholat Rasulullah . Maka Ibnu Umar menjawab:
اللَّهُ أَكْبَرُ كُلَّمَا وَضَعَ اللَّهُ أَكْبَرُ كُلَّمَا رَفَعَ ثُمَّ يَقُولُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ عَنْ يَسَارِهِ
“Beliau mengucapkan ‘Allahu Akbar’ setiap akan turun dan bangkit. Kemudian mengatakan ‘assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakatuhu’ ke kiri.”[43]
Namun, Syafi’iyah membolehkan tanpa memakai alif lam (salaamun ‘alaikum). Adapun lafadz yang sempurna adalah ‘assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi’. Seseorang yang tidak mengucapkan salam maka tidak sah sholatnya. Ini adalah pendapat Maliki.

12.  Thuma’ninah dalam gerkan-gerakan tertentu
Thuma’ninah secara bahasa bermakna tenang. Secara terminologi menetap dan tenangnya anggota badan ditempatnya dalam waktu sejenak .[44] Maksudnya  tenangnya anggota badan ketika melakukan rukun-rukun shalat. Thuma’ninah hanya dilakukan ketika rukuk, bangkit dari rukuk, sujud dan bangkit darinya.
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengkategorikan thuma’ninah sebagai rukun shalat. Sementara Hanafiyah mengkategorikannya sebagai wajib shalat. Fardhunya thuma’ninah  tertuang dalam hadits dari Abu Hurairah tentang seseorang yang buruk shalatnya. Kemudian Rasulullah mengajarkannya. Beliau bersabda:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
“Jika engkau akan sholat maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat dari Al-Qur’an yang mudah bagimu. Kemudian rukuklah sampai thuma’ninah. Kemudian bangkitlah dari rukuk dan berdiri tegak. Kemudian sujudlah dan thuma’ninah. Kemudian bangkitlah dari sujud dan thuma’ninah. Lakukanlah semua itu di setiap sholatmu.”[45]

13.  Urut dalam melaksanakan rukun sesuai yang dicontohkan Rasulullah
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengkategorikannya sebagai rukun sementara Hanafiyah tidak. Jika ditinggalkan dengan sengaja maka batal sholatnya menurut Syafi’iyah. Berdasarkan hadits Rasulullah  :
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
“Jika engkau akan sholat maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat dari Al-Qur’an yang mudah bagimu. Kemudian rukuklah sampai thuma’ninah. Kemudian bangkitlah dari rukuk dan berdiri tegak. Kemudian sujudlah dan thuma’ninah. “Kemudian bangkitlah dari sujud dan thuma’ninah. Lakukanlah semua itu di setiap sholatmu.”[46]

Wallaahu a’lam bishawab.

D.      KESIMPULAN DAN PENUTUP
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa para ahli fiqih berbeda pendapat dalam masalah jumlah rukun dalam shalat. Setiap dari mereka memiliki pendapat berdasarkan dalil-dalil dan argumen yang kuat.
Berikut adalah tabel perbandingan rukun-rukun shalat empat madzhab.

No.
Rukun-rukun Shalat
Hanafiyah
Malikiyah
Syafi’iyah
Hanabilah
1.
Niat
x
rukun
rukun
rukun
2.
Takbiratul Ihram
rukun
rukun
rukun
rukun
3.
Berdiri
rukun
rukun
rukun
rukun
4.
Membaca Al-Fatihah
rukun
rukun
rukun
rukun
5.
Rukuk
rukun
rukun
rukun
rukun
6.
I’tidal
x
rukun
rukun
rukun
7.
Sujud
rukun
rukun
rukun
rukun
8.
Duduk antara dua sujud
x
rukun
rukun
rukun
9.
Duduk tasyahud akhir
rukun
rukun
rukun
rukun
10.
Membaca tasyahud
x
rukun
rukun
rukun
11.
Membaca shalawat Nabi
x
rukun
rukun
rukun
12.
Salam
x
rukun
rukun
rukun
13.
Thuma’ninah
x
rukun
rukun
rukun
14.
Tertib
x
rukun
rukun
rukun

. Demikian makalah yang dapat saya buat. Harapan penulis semoga makalah yang saya buat bermanfaat bagi pembaca dan penulis pribadi Jika ada kelebihan maka datangnya dari Allah. Jika ada kekurangan berasal dari diri saya sendiri karena bisikan setan. Wallaahu a’lam bishawab.




DAFTAR PUSTAKA

Ashbahi, Al-, Malik Bin Anas. Al-Mudawwanah Al-Kubra, Kairo: Dar Al-Hadits, 1426 H/2005 M

Ainani, Al-, Abu Muhammad Mahmud bin Muhammad, cetakan: 2, Al-Binayah fi Syarh Al-Hidayah, jilid: 2, Beirut: Dar Al-Fikr, 1990

Bahrawi, Al-, Abdul Qodir, Fiqih Shalat Empat Madzhab, Tanpa penerbit

Bukhori, Al-, Muhammad Bin Ismail. Al-Jami’ Al-Musnad Ash-Shahih. 1422 H

Dardayar, Ad-, Ahmad bin Muhammad bin Ahmad, Asy Syarh Ash Shoghir ‘ala Aqrob Al Masalik Ila Madzhab Al Imam Malik, Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1119 H

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Balai Pustaka

Jazari, Al-, Abdurrahman. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, cetakan: 4, Beirut: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2006 M

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir, edisi: 2, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 M

Mun’im, Mahmud Abdurrahman Abdul, Mu’jam Al-Mustholahat wa Al-Alfadz Al-Fiqhiyyah, tanpa kota: Dar Al-Fadhilah, tanpa Tahun

Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, cetakan: 4, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2008 M

Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, penerjemah: Masturi Irham, cetakan: 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007 M

Ramki, Al-, Abu Al-‘Abbas Ahmad Bin Hamzah, Mughni Al Muhtaj ‘ala Syarh Al Minhaj, cetakan:1, Beirut: Dar Al Fikr, 1997 M

Sarwat, H. Ahmad, Fiqih Shalat, tanpa penerbit

Syaibani, Al-, Ahmad Bin Hanbal. Musnad Ahmad Bin Hanbal, Beirut: Alam Al-Kutub, 1998 M

Thahir, Al-Habib bin, Al-Fiqh Al-Maliki wa Adillatuhu, cetakan: 1, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1998 M

Zuhaili, Az-, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar AlFikr, 1985 M

__________________. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie Al Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2010 M

__________________. Al-Wajiz fii Al-Fiqh Al-Islami,  Cetakan: 1, Damaskus: Dar Al-Fikr, 2007 M



[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Lengkap Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif), hlm: 529
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Tanpa Kota: Balai Pustaka), hlm:
[3] Mahmud Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam Al Mustholahat wa Al Alfadz Al Fiqhiyyah, (Tanpa kota: Dar Al-Fadhilah), jilid 2, hlm: 376
[4] Mahmud Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam Al Mustholahat wa Al Alfadz Al Fiqhiyyah, (Tanpa kota: Dar Al-Fadhilah), jilid 2, hlm: 377
[5] HR. Imam Malik, Abu Daud dan Tirmidzi
[6] Abu Muhammad Mahmud bin Muhammad Al-‘Ainani, Al-Binayah fi Syarh Al-Hidayah, (Beirut: Dar Al-Fikr), jilid: 2, hlm: 175-178
[7] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani), hlm: 21-26
[8] Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ad Dardayar, Asy Syarh Ash Shoghir ‘ala Aqrob Al Masalik Ila Madzhab Al Imam Malik, (Kairo: Dar Al-Ma’arif), hlm: 303-317
[9] Syamsuddin Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 229-275
[10] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, (Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub), jilid: 2, hlm:
[11] Dr. Ibrahim Anis dkk, Al Mu’jam Al Wasith, (Kairo: Tanpa Penerbit), hlm: 1006
[12] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani), hlm: 643

[13] HR. Ibnu Majah no 275 dan selainnya. Syaikh Albani mengatakan hadits hasan shahih
[14] HR. Bukhori nomor 1117
[15] HR. Bukhori nomor 756 dan Muslim nomor 900
[16] HR. Abu dawud nomor 328 dan Ahmad nomor 19351. Syaikh Albani mengatakan hadits hasan
[17] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Lengkap Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif), hlm: 528
[18] Mahmud Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam Al Mustholahat wa Al Alfadz Al Fiqhiyyah, (Tanpa kota: Dar Al-Fadhilah), jilid 2, hlm: 180
[19] Syamsuddin Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 252
[20] HR. Ibnu Majah nomor 888 Syaikh Albani mengatakan hadits shahih
[21] HR. Bukhori nomor 757  dan 793. Diriwayatkan juga oleh Muslim, , Ahmad, An Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ad-Darimi
[22] Ibid
[23] HR. Bukhori nomor 796 dan 3228, Muslim nomor 940, Abu Dawud nomor 848, Ahmad nomor 9925
[24] Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ad Dardayar, Asy Syarh Ash Shoghir ‘ala Aqrob Al Masalik Ila Madzhab Al Imam Malik, (Kairo: Dar Al-Ma’arif), hlm: 313
[25] Mahmud Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam Al Mustholahat wa Al Alfadz Al Fiqhiyyah, (Tanpa kota: Dar Al-Fadhilah), jilid 2, hlm: 245-246
[26] HR. Bukhori nomor 757  dan 793. Diriwayatkan juga oleh Muslim, , Ahmad, An Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ad-Darimi
[27] HR. Ahmad nomor 2778
[28] Syamsuddin Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 259
[29] HR. Ibnu Majah nomor 888. Syaikh Albani mengatakan hadits shahih
[30] HR. Bukhori nomor 757  dan 793. Diriwayatkan juga oleh Muslim, , Ahmad, An Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ad-Darimi
[31] HR. Ibnu Majah nomor 897 Syaikh Albani mengatakan hadits shahih
[32] Abu Muhammad Mahmud bin Muhammad Al-‘Ainani, Al-Binayah fi Syarh Al-Hidayah, (Beirut: Dar Al-Fikr), jilid: 2, hlm: 179
[33] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, (Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub), jilid: 2, hlm: 220
[34] Al Habib bin Thahir, Al Fiqh Al Maliki wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Ibnu Hazm), jilid: 1, hlm: 220
[35] Syamsuddin Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 269
[36] Duduk dengan menekuk kaki kiri dan diduduki kemudian menegakkan kaki kanan dengan jari-jari kaki yang menekan ke tanah agar mengarah ke kiblat
[37] Duduk dengan menekuk kaki kiri dan berada di bawah kaki kanan dengan jari-jari kaki yang menekan ke tanah agar mengarah ke kiblat
[38] Syamsuddin Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 270
[39] Syamsuddin Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 272
[40] HR. Ibnu Majah no 275 dan selainnya. Syaikh Albani mengatakan hadits hasan shahih
[41] Syamsuddin Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 243
[42] HR. Muslim nomor 998
[43] HR. An-Nasa’i nomor 1319 dan 1320
[44] Mahmud Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam Al Mustholahat wa Al Alfadz Al Fiqhiyyah, (Tanpa kota: Dar Al-Fadhilah), jilid 2, hlm: 436
[45] HR. Bukhori nomor 757  dan 793. Diriwayatkan juga oleh Muslim, , Ahmad, An Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ad-Darimi
[46] Ibid